Hari ini aku mengawali tahun 2024 dengan menulis tentang salah seorang muridku yang menurutku sangat istimewa. Namanya Zahra. Tahun 2022 yang lalu, saat usianya belum genap 8 tahun dia menulis satu cerita bergambar yang juga diilustrasikan sendiri, judulnya "Kenangan Bersama Alin".
Kisah ini merupakan pengalamannya saat kehilangan boneka kesayangannya. Waktu itu Zahra belum sanggup bercerita kepada siapa pun kecuali keluarga intinya. Dalam keadaan sedih itulah Zahra berinisiatif menuliskannya sebagai kenangan akan Alin bonekanya.
Menuliskan kembali satu kisah yang melukai hati membutuhkan keberanian yang besar, karena kita akan dibawa kembali masuk ke rentetan peristiwa yang menyakitkan itu. Zahra menjalaninya dengan teguh, walau sepanjang prosesnya diiringi cucuran air mata. Bukan hanya proses menulis, proses menggambar ilustrasinya juga pasti sangat, sangat berat, karena menghadirkan hal itu sekali lagi secara visual.
Seperti karya-karya Zahra sebelumnya dan murid-muridku yang lain, sebelum sampai bisa dipublikasikan tentunya karya itu sudah melewati proses revisi berkali-kali. Revisi-revisi itu tentunya aku sesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak, tapi, tetap saja yang namanya revisi itu bukanlah hal yang menyenangkan, dan Zahra pun mengalaminya tanpa kecuali.
Dari apa yang dilakukan Zahra, gadis kecil dengan banyak ide keren dan keberanian yang luar biasa ini, aku jadi belajar tentang 'Writing to ease grief and loss'.
Ini yang aku baca dari Harvard Health Publishing :
Some research suggests that disclosing deep emotions through writing can boost immune function as well as mood and well-being. Conversely, the stress of holding in strong feelings can ratchet up blood pressure and heart rate, and increase muscle tension.
Although writing about grief and loss can trigger strong emotions — you may cry or feel deeply upset — many people find journal writing valuable and meaningful, and report feeling better afterward.
Menuliskannya kembali juga membantu kita untuk melihat peristiwa itu dengan lebih obyektif karena jadi seperti ada 'jarak' antara kita si penulis (yang hanya menuliskannya kembali) dengan kita yang terlibat di peristiwa itu secara langsung. Bahkan kadang kita jadi dapat perspektif yang berbeda.
Di usianya yang menjelang 9 tahun (tahun 2023 yang baru berlalu), Zahra kembali mengalami kesedihan yang lebih dalam. Dia kehilangan kucing kesayangannya, Chairo.
Peristiwa ini tentunya lebih berat skalanya dibandingkan kehilangan yang pertama, karena ada interaksi yang intens antara Zahra dan Chairo. Kembali Zahra menulis dan mengilustrasikan kisah itu untuk mengenang kucing yang paling dekat dengannya itu dalam "Namanya Chairo".
Zahra memang sudah pernah mengalami proses seperti ini waktu menulis "Kenangan Bersama Alin", tapi kehilangan tetaplah kehilangan yang tak tergantikan. Derai air mata dan tangis akan tetap mengiringi prosesnya. Mungkin ini bisa dikategorikan sebagai self therapy?
Ada hal lain yang juga aku kagumi dari karya ini. Kata-kata dalam teks yang Zahra tulis sangatlah indah dan enak dibaca. Terasa sekali cintanya pada Chairo.
Terima kasih Zahra untuk pelajaran indahnya <3
Comments