top of page
Search

Pentingnya Menulis dan Mengilustrasi untuk Anak: Negative Feelings

Updated: Nov 7

Akhir September kemarin, aku diundang oleh Taman Sahabat Library, GKI Pondok Indah, sebagai pembicara seminar Pentingnya Menulis dan Menggambar untuk Anak. Seminar dilanjutkan dengan mini workshop pembuatan zine (booklet mini yang terdiri dari 8 halaman) bersama anak-anak. Pada seminar kecil kali ini, aku fokus pada penggunaan menulis dan ilustrasi cerita sebagai bentuk coping mechanism perasaan negatif yang dapat digunakan oleh anak-anak (dan dewasa). Hal inilah yang mendorongku untuk menuliskannya dalam postingan blog ini. Di sini aku akan membahas lebih dalam mengenai hal tersebut. Sebelumnya, aku pernah membuat tulisan tentang Zahra, salah satu muridku, yang menulis dua cerita tentang pengalaman sedihnya. Post tersebut dapat dibaca di sini.



Ketika anak emosi dan merasa sedih, marah, takut, kesepian, dll, seringkali anak kesulitan untuk mengungkapkan hal tersebut pada orang lain (termasuk orang tua). Anak khawatir terhadap reaksi dan tanggapan orang lain terhadap masalahnya. Mungkin diremehkan, ditertawakan (kadang masalah anak kecil dianggap lucu oleh orang dewasa), atau komentar lainnya yang membuat anak tidak nyaman. Ada juga anak-anak yang hanya bisa menangis atau marah saat mengalaminya. Sebetulnya hal ini juga terjadi pada orang dewasa, hanya saja orang dewasa punya self-control lebih baik.


Menulis dan menggambar untuk anak dapat menjadi suatu bentuk stress relief untuk membantu anak meregulasi emosi. Anak jadi bisa melepaskan beban emosi yang berat tanpa dihakimi dan dalam bentuk emosi yang lebih terkontrol. Anak dapat menangis, ngambek, atau bahkan marah-marah selama proses pembuatan cerita. Selama proses tersebut, anak bisa merasa lebih aman dari segala macam reaksi orang lain yang belum siap dihadapi sebelumnya. Saat anak selesai mencurahkannya, anak dapat bisa mengambil "jarak" terhadap masalahnya dan melihatnya secara lebih obyektif. Dari hasil karya mereka itu, kita sebagai orang dewasa jadi dapat melihat masalah yang dialami dari kacamata anak untuk memahami POV mereka.


Kenapa tidak menulis atau menggambar saja? Dalam proses pembuatan cerita, anak bisa menulis atau menggambar saja. Namun, jika bisa keduanya akan lebih baik karena akan saling melengkapi. Misal, saat mau menggambarkan monster seram, kadang kata-kata tidak cukup untuk memperlihatkan sesuai yang ada di pikirannya. Jika hanya gambar, mungkin tetap harus menjelaskan lagi ke orang lain yang kurang dapat menangkapnya.


Apakah anak harus menulis ulang persis seperti apa yang mereka alami?

Tidak. Bisa saja ditulis dalam bentuk cerita fiksi, tapi biasanya, secara alami karakter utamanya punya emosi yang mirip dengan apa yang mereka alami dan/atau skenario cerita mirip dengan apa yang terjadi. Ada murid yang membuat cerita fiksi di mana kepribadian musuh karakter utama mirip dengan temannya yang menyebalkan. Masalah yang terjadi di dalam cerita juga mirip dengan masalah yang dihadapi. Ide solusi pertama untuk masalah di cerita? Musuh itu mati di akhir cerita 😅Setelah dicurahkan semuanya, kemarahannya lebih reda dan dia bisa membuat ending cerita lebih logis humanis.


Workshop kali ini agak terbatas waktunya, sehingga tidak semua cerita anak-anak selesai atau dibahas. Walaupun demikian, ada tiga cerita zine yang menurutku menarik.



Pertama, ada anak yg menceritakan ultahnya ke-11. Awalnya tidak ada yang istimewa. Lalu malamnya dia dibelikan donat dan dia senang sekali. Namun, belum selesai makan donat dia sudah disuruh tidur. Waktu bangun, dia melihat sisa donatnya sedang dimakan adiknya, hingga dia marah sekali. Tetapi, dalam penulisan pertamanya yang merupakan curahan kemarahannya, di bagian ending dia mengebom adiknya. 😅 Mungkin masalah donat ulang tahun yang dimakan adiknya adalah hal sepele buat kita orang dewasa. Selain itu, hal ini sudah berlalu. Namun, kita bisa melihat bahwa kemarahan itu masih ada dan cukup besar. Melalui proses seperti ini, dia akan bisa melihat masalahnya lebih jernih jika dilanjutkan dengan diskusi dan penerimaan oleh orang tuanya (validasi emosinya).



Kedua, ada anak yang menceritakan kakaknya yang diejek karena ada jerawat yang cukup besar. Kakaknya marah sekali ke temannya yang mengejek. Ini menarik karena bukan perasaan negatif yang dialami si penulis, tetapi dia dapat menjelaskan pengamatannya terhadap orang lain yang mengalaminya.



Cerita ketiga ini sebenarnya belum selesai, tetapi ilustrasi kemarahannya sangat ekspresif. Anak tersebut marah karena progress tiga tahun game online-nya terhapus. Selain itu, teman gamenya sepertinya tidak mengharapkannya lagi.


Di kelas yang aku bimbing, setelah anak menulis ide awal ceritanya, akan ada proses revisi berulang kali agar cerita lebih logis dan dapat diterima pembaca. Hasil cerita muridku memang ditujukan untuk dibaca orang lain. Selama revisi, di mana cerita tersebut harus dibaca berulang kali untuk diperbaiki, anak jadi bisa melihat dari sudut pandang orang lain yang tidak mengalami. Perspektif sebagai penulis, pembaca, dan orang yang terlibat langsung dengan peristiwa pasti berbeda. Biasanya, saat membahas, aku juga mengajak anak diskusi memikirkan penyelesaian lain yang lebih baik untuk masalahnya. Seiring waktu, anak akan lebih bisa menerima masalah dan menganggap pengalamannya itu sebagai bagian dari dirinya, sehingga dapat melanjutkan hidupnya dengan lebih positif. Proses mencurahkan, merevisi, dan menulis ulang bisa dikatakan sebagai bagian dari self-therapy. Diharapkan, nantinya anak jadi tahu apa yang harus dilakukan saat menghadapi perasaan negatif lainnya.

 
 
 

Comments


bottom of page